Rabu, 26 Agustus 2009

Perawatan Luka; Dahulu dan Sekarang

Kulit merupakan organ terbesar dalam tubuh. Kulit juga mempunyai peranan yang sangat penting yang dapat menjaga kita agar tetap sehat. Peranan kulit terpenting antara lain yaitu sebagai pengatur suhu tubuh dan bertindak sebagai pelindung. Kulit juga bertindak sebagai system alarm tubuh ketika menerima rangsang panas, dingin ataupun nyeri. Pada kondisi tubuh yang optimal, jaringan kulit dapat memulihkan luka secara efisien dengan membentuk jaringan kembali.

Banyak cara yang telah dikembangkan untuk membantu penyembuhan luka, seperti dengan menjahit luka, menggunakan antiseptic dosis tinggi, dan juga pembalutan dengan menggunakan bahan yang menyerap. Namun, ketika diteliti lebih lanjut, ternyata cara penyembuhan seperti ini sama sekali tidak membantu bahkan berisiko memperburuk luka.

Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kita akan menggunakan antiseptic pada luka dengan tujuan menjaga luka tersebut agar menjadi ‘steril’. Bahkan antiseptic seperti hydrogen peroxide, povidone iodine, acetic acid, dan chlorohexadine selalu tersedia di kotak obat. Sekarang perlu diketahui, bahwa antiseptik-antiseptik seperti itu dapat mengganggu proses penyembuhan dari tubuh kita sendiri.

Masalah utama yang timbul adalah antiseptic tersebut tidak hanya membunuh kuman-kuman yang ada, tapi juga membunuh leukosit yaitu sel darah yang dapat membunuh bakteri pathogen dan jaringan fibroblast yang membentuk jaringan kulit baru. Sehingga untuk membersihkan luka, cara yang terbaik adalah dengan membersihkannya dengan menggunakan cairan saline dan untuk luka yang sangat kotor dapat digunakan ‘water-presure’. Untuk perawatan di rumah, dapat menggunakan air yang mengalir atau menggunakan shower.

Demikian pula dengan penggunaan balutan. Zaman dahulu orang percaya bahwa membiarkan luka dalam kondisi bersih dan kering akan mempercepat proses penyembuhan. Sehingga, pada zaman dahulu luka dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tipis yang memungkinkan udara masuk dan membiarkan luka mengering hingga berbentuk ‘koreng’. Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, pertanyaan tersebut dibantah. Pengatahuan sekarang telah membuktikan bahwa luka dalam kondisi kering dapat memperlambat proses penyembuhan dan akan menimbulkan bekas luka.

Balutan dalam kondisi lembab atau sedikit basah merupakan cara yang paling efektif untuk menyembuhkan luka. Balutan tersebut tidak menghambat aliran oksigen, nitrogen dan zat-zat udara yang lain. Kondisi yang demikian merupakan lingkungan yang baik untuk sel-sel tubuh tetap hidup dan melakukan replikasi secara optimum, karena pada dasarnya sel dapat di lingkungan yang lembab atau basah. Kecuali sel kuku dan rambut, sel-sel tersebut merupakan sel mati.

Pengetahuan dahulu menyatakan bahwa ‘scab’ atau bekas luka yang mengering atau ‘koreng’ merupakan penghalang alami untuk mencegah hilangnya kelembaban. ‘scab’ juga mencegah sel-sel baru untuk berkolonisasi di area luka. Ketika ‘scab’ tersebut mulai berubah bentuk, sel epidermis harus masuk ke lapisan dermis yang paling dalam sebelum melakukan proliferasi, karena disanalah daerah yang lembab sehingga sel dapat hidup. Dan dari proses itu kita dapat mengetahui bahwa dalam lingkungan kering, luka akan memulih dari dalam ke luar. Sedangkan, bila kita dapat mengoptimalkan lingkungan yang lembab pada luka, proses penyembuhan akan berlangsung dari daerah pinggir/sekitar dan dari dalam secara serempak.

Namun, penyembuhan dengan menggunakan lingkungan yang lembab masih menjadi hal yang baru dan jarang diaplikasikan di masyarkat. Masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa lingkungan yang lembab akan menjadi tempat berkembangbiaknya kuman penyakit. Akan tetapi pernyataan ini tidak disertai dengan kenyataan bahwa tubuh kita mempunyai system imun yang sangat efisien. Segala jenis luka dengan berbagai tingkat kesterilannya memang merupakan bentuk kolonisasi dari bakteri, tapi koloni bakteri tersebut selama masih dalam jumlah yang wajar tidak menimbulkan risiko infeksi. Masalah akan timbul jika bakteri tersebut mulai melipatgandakan koloninya. Jika tubuh kita dalam kondisi yang normal, maka antibody dalam tubuh akan dapat mencegah bakteri untuk tidak bermitosis.

Klien dengan luka biasanya akan lebih jarang mengeluhkan rasa nyeri atau sakit yang dirasakan ketika luka dibiarkan dalam lingkungan yang lembab yaitu dengan pembalutan yang lembab. Balutan tersebut akan menjaga saraf dari lingkungan luar dengan memberikan lingkungan yang lembab, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. Jika dengan balutan yang kering, dikhawatirkan saraf akan mudah mengalami risiko kerusakan selama berproliferasi.

Cara-cara merawat luka:

  • Usahakan agar luka tetap bersih selama proses penyembuhan. Bersihkan luka dengan larutan saline sollution: larutkan dua sendok teh garam ke dalam air panas, lalu biarkan dingin.
  • Gunakan antiseptic yang alamiah. Dapat menggunakan Echinacea angustifolia, calendula, daun teh dan lavender.
  • Perbanyak intake protein dalam tubuh ketika sedang terluka. Terutama pasca operasi, kebutuhan kalori dan protein dalam tubuh akan meningkat 20-50 persen.
  • Perbanyak intake berbagai vitamin dan zat lainnya:
  • Gunakan madu untuk menyembuhkan luka. Madu mengandung enzim-enzim dan zat anti-viral, dapat mempercepat penyembuhan luka, dan menurunkan risiko infeksi lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan balutan sintetik semi-oklusif. Madu juga dapat mempercepat pertumbuhan sel-sel yang baru.

vitamin dan fungsinya:

  • Vitamin A untuk membantu pembentukan jaringan yang luka
  • Vitamin B1 untuk mensintesis kolagen
  • Vitamin B5 untuk mempercepat proses penyembuhan
  • Vitamin C untuk mempercepat pembentukan kolagen dan elastin, juga untuk mempercepat pertumbuhan
  • Vitamin E untuk membantu menghilangkan bekas luka
  • Zn untuk menstimulasi proses penyembuhan luka
  • Lemak essensial untuk memnyempurnakan proses penyembuhan luka
  • Selain beberapa pengobatan-pengobatan yang telah disebutkan diatas, ada juga metode penyembuhan luka yang juga dianjurkan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu terapi tekan. Terapi ini lebih dipergunakan untuk klien dengan luka pada kaki yang mana saraf pada kaki pun ikut terganggu. Terapi ini sangat efektif untuk membantu proses penyembuhan dan dapat mencegah risiko terjadinya luka ini kembali.

    Metode terapi tekan ini biasanya menggunakan balutan non elastis, dua atau empat lapis balut tekan, dan pembalut yang pendek dan lentur. Balut tekan terdapat mermacam-macam cara, namun tetap dapat memberikan tekanan secara permanent atau terus-menerus. Hal ini disebabkan adanya perbedaan struktur dan kandungan dari serabut elastometric.

    Balut tekan berguna untuk manajemen luka saraf. Balutan ini sangat mudah digunakan ketika kita ingin mengganti balutan yang lama. Balutan ini harus sering diganti, dengan tujuan untuk mengurangi pembengkakkan. Pembalut ini sangat elastis, sehingga dapat mengukur seberapa bengkak luka yang ada. Kekuatan tekanan yang dihasilkan merupakan interaksi dari beberapa prinsip, yaitu:

    • Struktur fisik dan ‘elastomeric properties’ pembalut tersebut.
    • Ukuran dan bentuk dari tubuh ketika balutan itu sedang digunakan.
    • Teknik dan keterampilan yang memasang balutan tersebut.
    • Aktivitas sehari-hari yang dilakukan klien.

    Jika luka sudah membaik atau sembuh, disarankan agar balut tekan tetap digunakan dengan tujuan untuk mengontrol risiko pembengkakkan, memperbaiki system saraf dan mencegah risiko terjadinya luka ini kembali.

    Sebelum kita melakukan intervensi terhadap luka, ada baiknya kita melakukan pengkajian terlebih dahulu. Melakukan pengkajian luka secara komprehensif pada klien yang tepat merupakan komponen penting dalam manajemen luka. Kemampuan untuk melakukan pengkajian luka tersebut membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang cukup. Perencanaan perawatan luka sangat dibutuhkan namun dalam perencanaan tersebut dibutuhkan juga keterangan-keterangan atau fakta dari hasil evaluasi rencana tersebut. Pedoman parameter untuk perawatan luka juga harus di masukkan dalam perencanaan tersebut, meliputi juga klasifikasi dari luka itu sendiri, penampilan luka, cairan yang keluar dari luka, rasa nyeri yang timbul dan kondisi kulit sekitar luka. Manajemen perawatan luka pada klien akan meningkat kualitasnya dengan komunikasi yang baik dan juga dengan dokumentasi yang efektif.

    DAFTAR RUJUKAN

    Keseimbangan Cairan, Elektrolit, Asam dan Basa

    Keseimbangan Cairan, Elektrolit, Asam dan Basa

    oleh: Kuntarti, Skp., M. Biomed #

    Pendahuluan

    Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya.

    Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior.

    Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

    Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion karbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresikan ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimi dalam cairan tubuh.

    Komposisi Cairan Tubuh

    Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan tubuh ini bervariasi antara individu, sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dari total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa dan lansia.

    Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan; dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma.

    Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.

    Perpindahan Substansi Antar Kompartmen

    Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat yang akan pindah harus dapat menembus barier atau membran tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat melalui membran, maka membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeabel untuk substansi tersebut. Membran disebut semipermeable (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya.

    Perpindahan substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi.

    Difusi

    Partikel (ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak dan cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata. Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law of diffusion). Faktor-faktor tersebut adalah:

    1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.
    2. Peningkatan permeabilitas.
    3. Peningkatan luas permukaan difusi.
    4. Berat molekul substansi.
    5. Jarak yang ditempuh untuk difusi.

    Osmosis

    Bila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkatkan, konsentrasi air akan menurun.Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda konsentrasi zat terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan osmosis.

    Filtrasi

    Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan membran dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik.

    Transport aktif

    Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya lebih tinggi. Perpindahan seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa Na-K.

    Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

    Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

    1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.

    Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.

    • Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.
    • Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memeprthatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.
    ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:
    1. mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
    2. mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal
    Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal.

    2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.

    Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).

    Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.

    pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:

    • Perubahan osmolaritas di nefron

    Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.

    Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).

    • Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)

    peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan.

    selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.

    Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

    Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.

    perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.

    Keseimbangan Asam-Basa

    Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35>7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:

    1. pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat.
    2. katabolisme zat organik
    3. disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.

    Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:

    1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
    2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh
    3. mempengaruhi konsentrasi ion K

    bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:

    1. mengaktifkan sistem dapar kimia
    2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan
    3. mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan

    Ada 4 sistem dapar:

    1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
    2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel
    3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat
    4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.

    sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

    Ketidakseimbangan Asam-Basa

    Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:

    1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukkan H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.
    2. Alkalosis metabolik, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukkan ion H menurun.
    3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru, diare akut, diabetes melitus, olahraga yang terlalu berat dan asidosis uremia akibat gagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.
    4. Alkalosis metabolik., terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defiensi asam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadi karena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis. Hilangnyaion H akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma meningkat.

    untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan ginjal sangat penting.

    KESIMPULAN

    Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garan dan mengontrol osmolaritas ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengeksresikan ion hidrogen dan CO2 dan sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

    Daftar Pustaka

    • Sherwood, Lauralee. (2004). Human Physiology: From cells to system. 5th ed. California: Brooks/Cole-Thomson Learning, Inc.
    • Silverthorn, D.U. (2004). Human Physiology: An Integrated approach. 3th ed. San Fransisco: Pearson Education.

    Manajemen Medik Luka Bakar Fase Akut

    Keseimbangan Cairan, Elektrolit, Asam dan Basa

    oleh: Kuntarti, Skp., M. Biomed #

    Pendahuluan

    Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya.

    Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior.

    Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

    Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion karbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresikan ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimi dalam cairan tubuh.

    Komposisi Cairan Tubuh

    Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan tubuh ini bervariasi antara individu, sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dari total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa dan lansia.

    Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan; dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma.

    Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.

    Perpindahan Substansi Antar Kompartmen

    Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat yang akan pindah harus dapat menembus barier atau membran tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat melalui membran, maka membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeabel untuk substansi tersebut. Membran disebut semipermeable (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya.

    Perpindahan substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi.

    Difusi

    Partikel (ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak dan cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata. Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law of diffusion). Faktor-faktor tersebut adalah:

    1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.
    2. Peningkatan permeabilitas.
    3. Peningkatan luas permukaan difusi.
    4. Berat molekul substansi.
    5. Jarak yang ditempuh untuk difusi.

    Osmosis

    Bila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkatkan, konsentrasi air akan menurun.Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda konsentrasi zat terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan osmosis.

    Filtrasi

    Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan membran dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik.

    Transport aktif

    Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya lebih tinggi. Perpindahan seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa Na-K.

    Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

    Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

    1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.

    Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.

    • Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.
    • Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memeprthatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.
    ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:
    1. mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
    2. mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal
    Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal.

    2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.

    Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).

    Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.

    pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:

    • Perubahan osmolaritas di nefron

    Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.

    Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).

    • Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)

    peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan.

    selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.

    Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

    Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.

    perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.

    Keseimbangan Asam-Basa

    Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35>7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:

    1. pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat.
    2. katabolisme zat organik
    3. disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.

    Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:

    1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
    2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh
    3. mempengaruhi konsentrasi ion K

    bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:

    1. mengaktifkan sistem dapar kimia
    2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan
    3. mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan

    Ada 4 sistem dapar:

    1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
    2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel
    3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat
    4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.

    sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

    Ketidakseimbangan Asam-Basa

    Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:

    1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukkan H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.
    2. Alkalosis metabolik, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukkan ion H menurun.
    3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru, diare akut, diabetes melitus, olahraga yang terlalu berat dan asidosis uremia akibat gagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.
    4. Alkalosis metabolik., terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defiensi asam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadi karena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis. Hilangnyaion H akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma meningkat.

    untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan ginjal sangat penting.

    KESIMPULAN

    Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garan dan mengontrol osmolaritas ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengeksresikan ion hidrogen dan CO2 dan sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

    Daftar Pustaka

    • Sherwood, Lauralee. (2004). Human Physiology: From cells to system. 5th ed. California: Brooks/Cole-Thomson Learning, Inc.
    • Silverthorn, D.U. (2004). Human Physiology: An Integrated approach. 3th ed. San Fransisco: Pearson Education.

    Perpustakaan ini bersifat sosial dan tidak dikomersilkan,apabila anda mau menyumbangkan tulisan atau referensi yang ada miliki, silahkan anda kirim ke email : proemergency@yahoo.co.id

    Referensi Buku